IPA didefinisikan sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui
pengumpulan data dengan eksperimen, pengamatan, dan deduksi untuk
menghasilkan suatu penjelasan tentang sebuah gejala yang dapat
dipercaya. Carin dan Sund (1993) dalam Puskur-Depdiknas (2006)
mendefinisikan IPA sebagai “pengetahuan yang sistematis dan tersusun
secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil
observasi dan eksperimen”.
Merujuk pada pengertian IPA itu, pada
hakikatnya IPA meliputi empat unsur utama yaitu: sikap, proses, produk,
dan aplikasi. Tujuan pembelajaran IPA adalah siswa memiliki tiga
kemampuan dasar IPA, yaitu: (1) kemampuan untuk mengetahui apa yang
diamati, (2) kemampuan untuk memprediksi apa yang belum terjadi, dan
kemampuan untuk menguji tindak lanjut hasil eksperimen, (3)
dikembangkannya sikap ilmiah.
Pendidikan IPA di sekolah diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta
didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitarnya, serta prospek
pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari, yang didasarkan pada metode ilmiah. Pembelajaran IPA
menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar
peserta didik mampu memahami alam sekitar melalui proses “mencari tahu”
dan “berbuat”, hal ini akan membantu peserta didik untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam. Keterampilan dalam mencari tahu atau
berbuat tersebut dinamakan dengan keterampilan proses penyelidikan atau
“enquiry skills” yang meliputi mengamati, mengukur, menggolongkan,
mengajukan pertanyaan, menyusun hipotesis, merencanakan eksperimen untuk
menjawab pertanyaan, mengklasifikasikan, mengolah, dan menganalisis
data, menerapkan ide pada situasi baru, menggunakan peralatan sederhana
serta mengkomunikasikan informasi dalam berbagai cara, yaitu dengan
gambar, lisan, tulisan, dan sebagainya. Melalui keterampilan proses
dikembangkan sikap dan nilai yang meliputi rasa ingin tahu, jujur,
sabar, terbuka, tidak percaya tahyul, kritis, tekun, ulet, cermat,
disiplin, peduli terhadap lingkungan, memperhatikan keselamatan kerja,
dan bekerja sama dengan orang lain.
Oleh karena itu pembelajaran IPA di sekolah sebaiknya: (1) memberikan
pengalaman pada siswa sehingga mereka kompeten melakukan pengukuran
berbagai besaran fisis, (2) menanamkan pada siswa pentingnya pengamatan
empiris dalam menguji suatu pernyataan ilmiah (hipotesis). Hipotesis ini
dapat berasal dari pengamatan terhadap kejadian sehari-hari yang
memerlukan pembuktian secara ilmiah, (3) latihan berpikir kuantitatif
yang mendukung kegiatan belajar matematika, yaitu sebagai penerapan
matematika pada masalah-masalah nyata yang berkaitan dengan peristiwa
alam, (4) memperkenalkan dunia teknologi melalui kegiatan kreatif dalam
kegiatan perancangan dan pembuatan alat-alat sederhana maupun penjelasan
berbagai gejala dan keampuhan IPA dalam menjawab berbagai masalah.
Namun pembelajaran sains yang selama ini terjadi di sekolah belum
mengembangkan kecakapan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Padahal pengajaran sains dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) adalah pengajaran yang mengajarkan siswa bagaimana
belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berfikir, dan bagaimana
memotivasi diri mereka. Pengajaran sains merupakan proses aktif yang
berlandaskan konsep konstruktivisme yang berarti bahwa sifat pengajaran
sains adalah pengajaran yang berpusat pada siswa (student centered
instruction). Oleh karena itu diperlukan guru-guru sains yang kompeten,
yang profesional dibidangnya.
Dikutip dari : Milya Sari, S.Pd. M.Si